singthung
IndoForum Junior E
- No. Urut
- 7164
- Sejak
- 21 Sep 2006
- Pesan
- 1.634
- Nilai reaksi
- 27
- Poin
- 48
Dhamma Ratanà
Dhamma Ratanà terdiri dari sembilan Dhamma-Lokuttara―yaitu Empat Magga, Empat Phala, dan Nibbàna―dan Pariyatti―yaitu semua ajaran Buddha dalam bentuk Tipitaka atau Kitab Suci Buddhis, beserta praktik Dhamma Pañipatti seperti yang tertulis dalam kitab-kitab. Juga menjelaskan tentang kemuliaan Tiga Permata. Kita akan memulai bab ini dengan sebuah diskusi tentang kemuliaan Tiga Permata secara tidak terlalu singkat juga tidak terlalu panjang-lebar, namun mencakup seluruh ciri dan kemuliaan yang penting.
Sembilan Kemuliaan Agung Buddha
Buddha memiliki kualitas mulia yang tidak terbatas. Tetapi, yang penting diingat oleh para umat manusia, dewa dan brahmà, hanya sembilan kemuliaan yang dimulai dengan Araham, yang diajarkan oleh Bhagavà secara khusus dalam berbagai khotbah-Nya. (Hal yang sama berlaku pada Dhamma, yaitu enam Kemuliaan Agung Dhamma dan sembilan Kemuliaan Agung Sangha).
Sembilan Kemuliaan Agung Buddha Dalam Bahasa Pàli
Iti pi so Bhagavà Araham Sammàsambuddho Vijjàcaranasampanno Sugato Lokavidu Anuttaropurisadammasàrathi Satthàdevamanussànam Buddho Bhagavà.
Terjemahannya:
(Terjemahan dalam bahasa Myanmar oleh Ashin Vepullàbhidhaja Aggamahàpandita, ketua Vihàra Vejayantà, Kozaungtaik Myingyan, sangat panjang dan lengkap. Hanya bagian-bagian yang penting saja yang dikutip di sini.)
Buddha yang telah mencapai Pencerahan Sempurna setelah memenuhi tiga puluh jenis Kesempurnaan Pàrami, dan telah menghancurkan semua kotoran memiliki ciri mulia sebagai berikut:
(1) Araham
(a) Murni sempurna dari kotoran, sehingga tidak berbekas, bahkan yang samar-samar sekalipun, yang dapat menunjukkan keberadaannya,
(b) Tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kejahatan, bahkan pada saat tidak ada seorang pun yang mengetahui,
(c) Telah mematahkan jeruji lingkaran kelahiran,
(d) Layak dihormati oleh semua makhluk di tiga alam, manusia, dewa dan brahmà.
(2) Sammàsambuddho
Telah mencapai Pencerahan Sempurna, dalam arti Beliau benar-benar memahami Dhamma oleh kecerdasan dan Pandangan Cerah dan mampu menjelaskannya kepada makhluk-makhluk lain.
(3) Vijjàcaranasampanno
Memiliki tiga pengetahuan, yaitu, Pengetahuan tentang kehidupan lampau semua makhluk, mata-dewa, dan padamnya semua noda moral, yang mana pengetahuan ini terdiri dari delapan pengetahuan beserta praktik moralitas yang sempurna yang dijelaskan dalam lima belas cara.
(4) Sugato
Karena Buddha mencapai Nibbàna melalui Empat Magga Nana, karena Buddha hanya mengatakan hal-hal yang benar dan bermanfaat.
(5) Lokavidu
Karena Beliau mengetahui kondisi-kondisi yang muncul dalam diri semua makhluk, penyebab kelahiran mereka dalam berbagai alam kehidupan, dan fenomena jasmani dan batin yang berkondisi.
(6) Anuttaropurisadammasàrathi
Karena Beliau tidak ada bandingnya dalam hal menjinakkan mereka yang layak dijinakkan.
(7) Satthàdevamanussànam
Karena Beliau adalah guru para dewa dan manusia, yang menunjukkan Jalan menuju Nibbàna kepada para dewa dan manusia.
(8) Buddha
Karena Beliau telah mencapai Pencerahan Sempurna, mengetahui dan mengajarkan Empat Kebenaran Mulia.
(9) Bhagavà
Karena Beliau memiliki enam kualitas mulia, yaitu, keagungan (issariya), pengetahuan akan sembilan faktor spiritual, yaitu Magga-Phala Nibbàna (Dhamma), kemasyhuran dan pengikut (yasa), keagungan kesempurnaan fisik (siri), kekuasaan dan prestasi (kàmma), dan ketekunan (payatta).
Penjelasan dari Ciri-ciri Mulia di Atas
Meskipun Buddha memiliki ciri-ciri mulia yang tidak terhingga banyaknya, namun hanya sembilan di atas yang dinyatakan dalam khotbah-khotbah-Nya kepada para pendengar yang terdiri dari para dewa dan manusia sebagai ciri-ciri kemuliaan Buddha. Masing-masing dari sembilan ciri ini mewakili sekelompok kualitas kemuliaan Buddha. Makna dari sembilan ciri-ciri mulia tersebut dijelaskan berikut ini dengan tidak terlalu ringkas juga tidak terlalu panjang.
(1) Araham
Di sini, ciri mulia dalam pengertian singkat dan pemilik ciri mulia ini harus dibedakan. Yang pertama merujuk pada kondisi alami yang muncul dalam proses batin Buddha, sedangkan yang kedua merujuk pada faktor tertentu dari lima kelompok kehidupan di mana ciri mulia tersebut muncul.
Ada lima kualitas penting yang termasuk dalam ciri mulia Araham, yaitu:
(a) Artinya, Buddha yang melalui Jalan Lokuttara, Lokuttara Magga, telah menghancurkan semua kotoran batin kilesà, yang berjumlah lima belas ribu, tanpa meninggalkan bekas. Kotoran dapat diumpamakan sebagai musuh yang selalu berusaha melawan kepentingan dan kesejahteraan seseorang. Kotoran batin yang muncul dalam faktor batin-jasmani seorang Bakal Buddha, disebut, ari, musuh.
Ketika Buddha, setelah bermeditasi dengan objek (Musabab Yang Saling Bergantung) Mahàvajirà Vipassanà (seperti telah dijelaskan sebelumnya), mencapai Pencerahan Sempurna di atas Singgasana Kemenangan, Empat Jalan Lokuttara memungkinkan-Nya menghancurkan semua kotoran batin tersebut kelompok demi kelompok. Oleh karena itu, Dhamma Lokuttara, Empat Jalan Ariya, adalah ciri mulia yang disebut Araham, sedangkan faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.
(b) Kemudian, turunan kata Araham dari kata dasarnya araha, yang berarti ‘Seorang yang telah menjauhkan dirinya dari kotoran.’ Seperti dijelaskan pada (a) di atas, Buddha telah menghancurkan semua kotoran beserta kecenderungannya yang paling halus yang dapat membentuk suatu kebiasaan, tanpa meninggalkan bekas, bahkan tidak dalam bentuk samar-samar yang dapat membuktikan keberadaannya. Kotoran dan kecenderungan tersebut tidak mungkin muncul dalam diri Buddha. Dalam pengertian inilah Buddha dikatakan telah menjauhkan diri dari kotoran dan kecenderungan.
Beliau telah membuangnya secara total. Membuang semua kotoran beserta kecenderungannya adalah ciri mulia Araham, sedangkan faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut. Ciri mulia ini diturunkan dari Empat Jalan Ariya.
(Ciri mulia yang dijelaskan pada (a) dan (b) di atas tidak dimiliki oleh para Arahanta lainnya, mereka tidak berhak disebut Arahaÿ. Alasannya adalah: semua Arahanta telah menghancurkan seluruh seribu lima ratus kilesà, tetapi tidak seperti Buddha, kesan yang samar-samar dari kecenderungan atas kebiasaan-kebiasaan mereka masih ada.
Kesan samar-samar ini adalah beberapa kecenderungan yang halus yang masih ada dalam batin para Arahanta biasa yang secara tanpa sengaja dapat muncul dalam diri mereka seperti halnya orang-orang awam. Hal ini karena kecenderungan itu tetap hidup karena perbuatan tertentu yang dilakukan berulang-ulang dalam kehidupan lampau para Arahanta yang bersangkutan, yang tetap berbekas bahkan setelah mereka menghancurkan semua kotoran.
Sebuah contoh dari fenomena ini dapat ditemukan pada Yang Mulia Pilindavaccha, seorang Arahanta yang hidup pada masa kehidupan Buddha. Ia hidup sebagai seorang brahmana dalam kelompok brahmana yang angkuh dalam lima ratus kehidupan berturut-turut. Anggota-anggota kelompok brahmana tersebut menganggap semua orang di luar kelompok mereka sebagai orang jahat dan bakal Pilindavaccha memiliki kebiasaan memanggil semua orang di luar kelompoknya sebagai ‘penjahat’. Kebiasaan ini terpendam dalam dirinya dalam rangkaian banyak kehidupan sehingga bahkan setelah menjadi seorang Arahanta, Yang Mulia Pilindavaccha secara tidak sengaja masih memanggil orang lain “Engkau penjahat”. Ini bukanlah karena kotoran keangkuhan namun hanya karena kebiasaan masa lampau.
(c) Araham dapat diterjemahkan sebagai “seorang yang tidak memiliki tempat rahasia untuk berbuat kejahatan” (a+raha). Ada beberapa orang yang berpenampilan seperti orang yang bijaksana atau orang baik namun diam-diam melakukan perbuatan jahat. Sedangkan Buddha, karena Beliau telah menghancurkan semua kotoran secara total beserta kecenderungan terhadap kebiasaan-kebiasaan, tidak ada lagi tempat rahasia untuk melakukan perbuatan jahat. Kualitas mulia tidak memiliki tempat rahasia untuk melakukan perbuatan jahat ini adalah ciri mulia Araham, sedangkan faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.
(d) Araham juga berarti “seorang yang telah menghancurkan jeruji roda kehidupan” (ara+hata). Kehidupan di tiga alam indria, alam materi halus dan alam tanpa materi diumpamakan sebagai “kereta pembawa menuju lingkaran kelahiran”. Kelompok-kelompok kehidupan, khandhà, yang muncul terus-menerus, dan dasar-dasar indria, àyatana serta unsur-unsur, dhàtu, diumpamakan sebagai “roda kehidupan,” yang merupakan bagian terpenting dari kereta pembawa menuju kelahiran. Di dalam roda tersebut terdapat kebodohan dan kemelekatan akan kelahiran sebagai pusat sedangkan aktivitas kehendak, pu¤¤àbhisaïkhàra yang terungkap dalam kehendak-kehendak baik atau perbuatan-perbuatan baik merupakan jeruji roda tersebut yang mengakibatkan kelahiran kembali di alam indria dan alam materi halus. Demikian pula, kehendak-kehendak jahat, apunnàbhisankhàra yang menyebabkan timbulnya perbuatan-perbuatan jahat yang menyentuh empat alam sengsara, apàya, merupakan jeruji roda yang mengakibatkan kelahiran kembali di empat alam sengsara. Dan demikian pula, kehendak-kehendak baik ànenjàbhisankhàra yang menyentuh alam tanpa materi yang menyebabkan perbuatan-perbuatan baik merupakan jeruji roda yang mengakibatkan kelahiran kembali di alam tanpa materi.
Dari munculnya tiga jenis kehendak ini, kebodohan dan kemelekatan akan kelahiran disebut pusat roda karena pusat roda adalah asal dari perputaran roda, dengan demikian merupakan penyebab dari lingkaran samsàra. Kekuatannya (diumpamakan) diteruskan ke tepi roda atau ban, sebagai ujungnya (yang berakhir pada usia tua dan kematian), oleh jeruji kehendak-kehendak. (Dalam penyajian pertama ini, inti dari dua belas faktor Musabab Yang Saling Bergantung adalah kebodohan dan kemelekatan sebagai pusat roda, usia tua dan kematian sebagai ban, dan tiga jenis kehendak sebagai jeruji roda samsàra. Faktor-faktor lainnya dari Musabab Yang Saling Bergantung diumpamakan sebagai kereta yang membawa menuju lingkaran kelahiran.
Karena adanya kotoran moral (àsava) maka muncullah kebodohan (avijjà). Kebodohan bersumber atau disebabkan oleh kotoran moral. Karena itu, kotoran moral dapat dilihat sebagai sebagai sumbu yang terhubung dengan pusat kebodohan dan kemelekatan akan kebodohan.
Demikianlah, di dalam roda samsàra dengan sumbu kotoran moral yang tersambung ke pusat kebodohan dan kemelekatan akan kelahiran, dengan jeruji tiga jenis kehendak dan ban usia tua dan kematian, yang telah berputar sejak samsàra yang tidak berawal, yang membawa kereta kehidupan di tiga alam. Buddha, saat mencapai Pencerahan Sempurna, telah menghancurkan hingga berkeping-keping jeruji roda dengan berdiri di atas kedua kaki usaha batin dan jasmani, berdiri tegak di atas moralitas, sila, dan memegang erat kapak Magga Nana (jasa yang memadamkan kamma) di tangan keyakinan.
Oleh karena itu, penghancuran jeruji roda saÿsàra oleh kapak Empat Magga Nana adalah ciri mulia Araham, sedangkan faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.
Penjelasan lain:
Lingkaran kelahiran yang tidak berawal disebut roda samsàra. Roda ini, jika dilihat makna tertingginya, adalah seperangkat yang terdiri dari dua belas faktor Musabab Yang Saling Bergantung.
Kebodohan sebagai sumber penyebab kelahiran kembali adalah pusat dari roda tersebut. Usia tua dan kematian yang merupakan akhir dari kehidupan tersebut adalah ban dari roda tersebut. Sepuluh faktor lainnya, dengan berpusat pada pusat roda (kebodohan) dan ban (usia tua dan kematian) sebagai dua sekutunya, adalah jeruji dari roda tersebut.
Buddha telah secara total menghancurkan jeruji roda samsàra tersebut. Oleh karena itu penghancuran sepuluh faktor Musabab Yang Saling Bergantung oleh empat serangan pedang Magga Nana adalah ciri mulia Araham dalam pengertian keempat. Faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.
(e) Araham juga berarti “Ia yang layak mendapat penghormatan dari manusia, dewa, dan brahmà”. Ini karena Buddha adalah pribadi mulia yang layak menerima persembahan istimewa dalam bentuk empat kebutuhan bhikkhu dari seluruh tiga alam. Itulah sebabnya, saat Buddha muncul di dunia ini, semua dewa dan manusia yang berkuasa tidak memberikan persembahan dan penghormatan kepada makhluk lain, tetapi hanya kepada Buddha.
Beberapa contoh penting atas fakta ini: Brahmà Sahampati memberikan persembahan istimewa dalam bentuk sebuah karangan bunga yang berukuran sebesar Gunung Sineru kepada Buddha. Para dewa dan raja lainnya seperti Bimbisàra, Kosala, dan lain-lain, memberikan persembahan sebesar kemampuan mereka kepada Buddha, lebih jauh lagi, setelah Buddha meninggal dunia, Raja Asoka menghabiskan sembilan puluh enam crore uang untuk membangun delapan puluh empat ribu vihàra di seluruh benua selatan Jambudipa sebagai penghormatan kepada Buddha.
Oleh karena itu, moralitas, sila, konsentrasi, samàdhi, kebijaksanaan, pannà, Pembebasan, vimutti dan pengetahuan yang tiada bandingnya yang mengarah kepada Pembebasan, Vimutti Nana Dassana, adalah kualitas mulia yang membuat Buddha layak dihormati oleh manusia, dewa, dan brahmà, merupakan ciri mulia Araham. Faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut. (Pembaca diharapkan untuk menghubungkan lima penafsiran ini dengan arti Araham yang dijelaskan sebelumnya.)
(2) Sammàsambuddha
(Sammà, sungguh, benar-benar, sam, oleh diri sendiri, buddho, mengetahui segala sesuatu yang layak diketahui.)
Buddha menemukan kebenaran dengan kecerdasan-Nya sendiri dan Pandangan Cerah tanpa bantuan siapa pun. Para Pacceka Buddha juga menemukan Kebenaran dengan kecerdasan dan Pandangan Cerah mereka sendiri, namun karena mereka tidak mampu mengajarkan Kebenaran yang mereka temukan kepada orang lain, maka mereka tidak layak mendapat gelar Sammàsambuddha. Mereka hanya disebut Sambuddha. Para siswa Ariya mengetahui Kebenaran hanya dengan bantuan guru dan mereka mampu membabarkannya kepada orang lain, tetapi karena mereka tidak menemukan Kebenaran itu sendiri, maka mereka juga tidak disebut Sammàsambuddha. Mereka hanya disebut Sammàbuddha. Para Buddha adalah Sambuddha, yang mengetahui Kebenaran dan segala sesuatu melalui Pencerahan Sempurna yang dicapai oleh diri sendiri. Mereka juga Sammàbuddha karena mereka dapat mengajarkan Empat Kebenaran kepada para siswa mereka sesuai kapasitasnya masing-masing, dan dalam bahasa yang dapat mereka pahami. Oleh karena itu, kombinasi kedua kualitas ini membuat Buddha layak mendapat gelar Sammàsambuddha.
Oleh karena itu, Empat Magga Nana yang memungkinkan Buddha mengetahui segala sesuatu tanpa bantuan siapa pun melalui Kemahatahuan yang tertinggi adalah ciri mulia yang disebut Sammàsambuddha. Faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.
(3) Vijjàcaranasampanno
Seseorang yang memiliki tiga pengetahuan atau delapan pengetahuan dan lima belas bentuk praktik moralitas yang sempurna.
Tiga pengetahuan diajarkan oleh Buddha dalam Bhayabherava Sutta (Majjhima Nikàya. Mullapannàsa), delapan pengetahuan diajarkan oleh Buddha dalam Ambattha Sutta (Digha Nikàya). Dua cara mengajar dalam tiga kelompok dan delapan kelompok digunakan oleh para Buddha melalui pertimbangan yang penuh welas asih atas kerangka batin para pendengar dalam setiap kesempatan.
Tiga Pengetahuan
(i) Pengetahuan akan kehidupan lampau, Pubbe Nivàsa Nana.
(ii) Pengetahuan akan mata-dewa, Dibbacakkhu Nana.
(iii) Pengetahuan akan padamnya kotoran moral, âsavakkhaya Nana.
Delapan Pengetahuan
(i) sampai (iii) di atas dan
(iv) Pengetahuan Pandangan Cerah, Vipassanà Nana
(v) Kekuatan pikiran, Manomayiddhi Nana
(vi) Berbagai macam kekuatan batin, Iddhividha Nana
(vii) Pengetahuan akan telinga dewa, Dibbasota Nana.
(viii)Pengetahuan dalam membaca pikiran makhluk lain, Cetopariya Nana.
(i) Pengetahuan akan kehidupan lampau: dengan pengetahuan ini, Buddha dapat melihat kehidupan lampau diri-Nya sendiri dan makhluk-makhluk lain.
(ii) Pengetahuan akan mata-dewa: dengan pengetahuan ini Buddha dapat melihat segala sesuatu yang berada sangat jauh, benda-benda yang tersembunyi, dan benda-benda yang sangat halus bagi mata manusia biasa.
(iii) Pengetahuan akan padamnya kotoran moral: yaitu Arahatta-Phala Nana yang memadamkan seluruh empat kotoran moral.
(iv) Pengetahuan Pandangan Cerah: pemahaman akan ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa-diri dari semua fenomena batin dan jasmani yang berkondisi.
(v) Kekuatan pikiran: kemampuan untuk mengubah wujud melalui penguasaan pikiran yang dicapai melalui latihan Jhàna.
(vi) Berbagai macam kekuatan batin: kemampuan dalam menciptakan banyak bentuk, manusia atau lainnya.
(vii) Pengetahuan akan telinga dewa: kemampuan dalam mendengarkan suara yang berasal dari tempat yang sangat jauh, suara dalam ruang tertutup dan suara yang terlalu kecil bagi telinga manusia biasa.
(viii) Pengetahuan dalam membaca pikiran makhluk lain: Buddha dapat mengetahui pikiran makhluk lain dalam enam belas cara yang berbeda-beda.
Dari delapan pengetahuan di atas, pengetahuan keempat, pengetahuan Pandangan Cerah, adalah pengetahuan yang menyentuh alam indria. Pengetahuan ketiga, Pengetahuan padamnya àsava adalah Pengetahuan Lokuttara. Enam pengetahuan lainnya menyentuh pada alam materi halus, kekuatan Jhàna yang disebut Rupàvacara Kriyà Abhinnà Nana.
Lima Belas Bentuk Praktik Moralitas Yang Sempurna, Carana
(i) Moralitas pengendalian diri, Sila Sanvara.
(ii) Pengendalian indria, Indriyesugutta Dvàratà.
(iii) Mengetahui hal-hal layak sehubungan dengan makanan, Bojane Mattannuta.
(iv) Selalu sadar, Jàgariyà Nuyoga.
(v-xi) Tujuh kekayaan orang-orang bajik.
(xii-xv) Empat Jhàna materi halus
(i) Moralitas pengendalian diri: menjalani sila-sila pengendalian diri seorang bhikkhu, Pàtimokkha Sanvara Sila.
(ii) Pengendalian indria: selalu menjaga pintu-pintu mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan pikiran dengan penuh perhatian sehingga tidak memperbolehkan segala bentuk kejahatan masuk.
(iii) Mengetahui hal-hal layak sehubungan dengan makanan: mengetahui kelayakan atas makanan yang diterima dan dalam memakannya. Dalam menerima dàna makanan, Buddha mempertimbangkan tingkat pengabdian si penyumbang. Jika pengabdiannya begitu kuat namun persembahan yang ia berikan sangat kecil, Buddha akan menerimanya dan tidak memandang rendah persembahan itu.
Walaupun persembahan itu besar, namun jika pengabdian si penyumbang lemah, Buddha hanya menerima sebagian kecil saja dari persembahan itu, dengan pertimbangaan lemahnya pengabdian si penyumbang. Jika persembahan itu cukup besar dan pengabdian si penyumbang juga cukup kuat, Buddha menerima hanya dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan-Nya. Inilah yang disebut dengan mengetahui hal-hal layak sehubungan dengan penerimaan makanan. Dalam memakan makanan yang dikumpulkan, Buddha tidak makan sampai kekenyangan, tetapi berhenti makan empat atau lima suap sebelum perut-Nya penuh. Lebih penting lagi, Beliau tidak pernah makan tanpa melakukan perenungan pada waktu makan.
(iv) Selalu sadar: selalu sadar bukan berarti selalu terjaga dan tidak tidur sama sekali. Buddha melewatkan hari dengan cara, pada jaga pertama dan jaga terakhir malam hari dalam meditasi, sewaktu berjalan atau duduk, melenyapkan rintangan-rintangan. Terjaga dengan tujuan ini disebut Selalu sadar. Dari dua puluh empat jam sehari, Buddha hanya tidur sebentar untuk memulihkan tenaga-Nya, sisa waktunya dilewatkan dalam meditasi dan praktik kebhikkhuan.
(v-xi) Tujuh kekayaan orang-orang bajik:
(a) Keyakinan di dalam Tiga Permata, Saddhà
(b) Perhatian, Sati
(c) Rasa malu untuk berbuat jahat, Hiri
(d) Rasa takut akan akibat perbuatan jahat, Ottappa
(e) Memelajari (ajaran), Bàhussacca
(f) Tekun, Viriya
(g) Kebijaksanaan, Pannà
(xii-xv) Empat Jhàna materi halus: Merujuk pada empat Jhàna dari alam materi halus.
Lima belas bentuk praktik sempurna dari moralitas di atas mengarah langsung menuju Nibbàna, unsur keabadian, yang saat masih sebagai orang awam, atau sebagai siswa, belum dapat dicapai sebelumnya, karena itu disebut carana.
Pengetahuan (vijjà) dan praktik moralitas yang sempurna (carana) adalah saling melengkapi. Yang pertama bagaikan mata, sedangkan yang kedua bagaikan kaki. Untuk mencapai tempat yang dituju, mata tidak akan dapat mencapai tempat tersebut tanpa adanya kaki, demikian pula kaki tanpa mata. Oleh karena itu pengetahuan dan praktik moralitas yang sempurna harus dilatih secara bersama-sama.
(Akan muncul pertanyaan, “Bukankah pengetahuan dan praktik moralitas yang sempurna dapat dicapai oleh para siswa Ariya?” Jawabannya adalah ya dan tidak. Para Ariya dapat mencapainya tetapi mereka tidak memiliki ciri mulia Vijjàcaranasampanna yang hanya dimiliki oleh Buddha, alasannya adalah sebagai berikut:
Ada dua faktor dalam ciri mulia ini, sempurna dalam pengetahuan, dan sempurna dalam praktik moralitas. Kesempurnaan pengetahuan Buddha adalah sumber bagi Kemahatahuan. Kesempurnaan dalam praktik moral adalah sumber bagi welas asih-Nya. Dengan memiliki dua Kesempurnaan ini, Buddha dengan pengetahuan-Nya mengetahui apa yang bermanfaat bagi tiap-tiap individu dan apa yang tidak. Lebih jauh lagi, Buddha, dengan Kesempurnaan-Nya dalam praktik moralitas memancarkan welas asih-Nya kepada semua makhluk yang menyebabkan makhluk-makhluk menjauh dari apa yang tidak bermanfaat bagi mereka dan mengambil apa yang bermanfaat bagi mereka. Kesempurnaan dalam pengetahuan dan Kesempurnaan dalam praktik moralitas bersama-sama membuat ajaran-Nya menjadi ajaran Pembebasan. Juga memastikan para siswa-Nya melakukan praktik yang benar.)
Oleh karena itu, gabungan Kesempurnaan pengetahuan dan Kesempurnaan praktik moralitas disebut ciri mulia Vijjàcaranasampanno. Faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut. (Kembali ke makna dari ciri mulia ini yang dijelaskan sebelumnya untuk direnungkan dan dibacakan.)